Tuesday, November 9, 2010

inflasi indonesia membumbung tinggi

Inflasi Indonesia Membumbung Tinggi

(Presiden Susilo Bambambang Yudhoyono senantiasa
berfikir keras untuk dapat memakmurkan rakyat
Indonesia)

Perekonomian Indonesia diterpa inflasi tertinggi dalam
empat tahun. Inflasi bulan Oktober 2005 sebesar 8,7
persen, sementara sepanjang Januari – Oktober 2005,
laju inflasi mencapai 15,65 persen. Sebelum semakin
terpuruk, sejumlah jurus dipersiapkan pemerintah
Indonesia. Desas-desus tentang pergantian kabinet pun
makin santer.

Di awal bulan ini, Trisanti punya kesibukan baru,
mengais-ngais sisa tabungan. Staf pemasaran sebuah
perusahaan otomotif di Jakarta ini  pusing tujuh
keliling untuk menutupi pengeluaran bulannya.
Bagaimana tidak? Semakin membumbungnya  ongkos
transportasi sehari-hari, membuat lajang yang kos di
Jakarta ini kebobolan kantongnya. Belum lagi
melonjaknya harga makanan. Sementara gaji tak kunjung
naik.

Inflasi Tertinggi

Pengaruh inflasi begitu terasa baginya.  Inflasi
menjelang akhir tahun ini memang cukup gila-gilaan.
Ketua Badan Pusat Statistik BPS Choiril Maksum,
mengumumkan di bulan Oktober ini inflasi meroket 8,7
persen. Sementara sepanjang Januari sampai Oktober
2005, laju inflasi mencapai 15,65 persen. Dan rekor
pun pecah: inilah angka inflasi tertinggi dalam 4
tahun.

Tindakan Pemerintah

Inflasi selangit ini tentu tak bisa dibiarkan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan para
menteri untuk mencari cara mengatasinya. Menteri
Perekonomian Indonesia, Aburizal Bakrie yang dipanggil
khusus ke Cikeas, rumah kediaman presiden, harus putar
otak mengatur jurus-jurus ampuh.  

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut, kenaikan harga
BBM sebelum lebaran merupakan pemicu utama tingginya
inflasi. Namun ia berjanji  pemerintah akan
mengerahkan segala upaya untuk mengendalikan dan
menstabilkan harga barang-barang, terutama kebutuhan
sehari-hari seperti bahan pangan, selain menjaga stok
BBM.

Kesalahan Pemerintah

Lain halnya dengan Faisal Basri. Pengamat ekonomi ini
berpendapat, yang menjadi gara-gara dari inflasi
tinggi dan kenaikan suku bunga  yang memukul
perekonomian ini karena pemerintah salah langkah. Kata
Faisal,  sangat tidak realistis untuk menyelesaikan
masalah sakitnya perekonomian hanya dengan menggunakan
satu jurus pamungkas, yakni kenaikan harga BBM sebesar
114 persen. Hiperinflasi inilah akibat yang harus
dipikul.

Bantuan Langsung Tunai

Pemerintah memang  menggulirkan beberapa obat penawar
rasa sakit dalam bentuk paket kemudahan  bagi dunia
usaha seperti paket fiskal, reformasi di bidang tata
niaga dan transportasi serta kebijakan di bidang
perberasan. Pemerintah juga mengucurkan dana bantuan
langsung tunai (BLT) bagi setiap keluarga miskin
sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan di muka
sekaligus untuk tiga bulan tetapi di lapangan, semua
kebijakan itu menimbulkan masalah tersendiri.  Namun
demikian, sebagian pengkritik BLT terkesan
menyandarkan argumennya bukan berdasarkan teori
ekonomi tetapi lebih karena alasan
ideologis-penyebaran agama.

Faisal Basri kembali menunjuk melonjaknya harga BBM
sebagai faktor memperpanjang penderitaan rakyat.

Kenaikan Suku Bunga

Tingginya inflasi dibarengi kenaikan suku bunga Bank
Indonesia hingga 12,25 persen. Bank Indonesia bisa
jadi akan terus menaikan suku bunga untuk meredam laju
inflasi yang begitu tinggi. Ini akan menambah berat
tekanan pada perbankan: penyaluran kredit akan makin
seret. Angka kredit bermasalah juga akan naik, karena
pengutang kesulitan  membayar cicilan. Sudah pasti
keuntungan menyusut dan kerugian semakin mengancam.

Kondisi Dunia Usaha

Perekonomian nasional akan mendapat guncangan
berikutnya, yakni tertahannya kegiatan investasi,
sehingga pertumbuhan ekonomi tidak sebesar yang
diperkirakan.  Menghadapi tekanan yang bertubi-tubi
begini, dunia usaha  bisa kalang kabut. Wakil Ketua
Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Mintardjo Halim
mengatakan, bunga perbankan yang tinggi, misalnya
18-20 persen akibat laju inflasi, sehingga kalangan
pengusaha juga enggan mengambil kredit. Keadaan yang
sudah buruk ini, kata  pengusaha Anton Supit, akan
makin buruk lagi dengan  jauh menurunnya daya beli
masyarakat.

Kebijakan Yang Harus Diambil

Ekonom Bank Mandiri, Martin Panggabean mengatakan,
pekerjaan rumah pemerintah bukan cuma di bidang
moneter atau kebijakan keuangan. Melainkan juga
sektor-sektor kongkret. Misalnya, bila ingin
memperkuat sumber daya alam, maka kebijakan di bidang
itu harus diperkuat.

Perombakan kabinet apakah relevan?

Meningkatnya suhu ekonomi akibat inflasi,  memanaskan
pula suhu politik yang sebenarnya sudah membara.
Kasak-kusuk tentang perombakan kabinet makin santer,
terutama menteri-menteri bidang perekonomian.
Lebih-lebih jika dikaitkan dengan janji Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi kinerja
para menterinya, bertepatan dengan setahun usia
pemerintahannya. Kendati hingga kini presiden hanya
baru tingkat mengevaluasi, namun tak juga mengambil
keputusan menyangkut posisi para menterinya. Namun
demikian, pergantian kabinet juga berarti, kementrian
yang bersangkutan belajar dari nol kembali.
Kebijakan-kebijakan baru pasti bermunculan, sedangkan
menteri yang baru diangkat setidaknya butuh waktu
untuk menyesuaikan diri. Demikian juga timbul
pertanyaan, apakah pergantian kabinet kondusif bagi
perekonomian, sebaliknya atau hanya akal-akalan
politisi?

Martin Panggabean menilai, penggantian menteri-menteri
ekonomi jika dilakukan, akan merupakan pekerjaan
tersendiri yang jauh dari gampang.  Sebab, tak hanya
sekedar kaum profesional yang cakap yang dibutuhkan,
namun perlu disertai dukungan politik dari
partai-partai di parlemen. Martin menambahkan,
penggantian menteri juga harus disertai kebijakan
perekonomian yang lebih pasti.

Pertumbuhan Ekonomi Tertahan

Martin Panggabean menaksir pula, pertumbuhan ekonomi
ke depan masih akan rendah. Angkanya akan sekitar 5
persen di bawah perkiraan awal pemerintah, yang 6
persen. Ia memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada triwulan III dan IV tahun 2005 akan
melambat. Perlambatan pada triwulan III lebih
disebabkan oleh tekanan terhadap nilai tukar rupiah
dan tingginya harga minyak dunia yang berkelanjutan.
Adapun pada triwulan IV perlambatan lebih disebabkan
oleh tingginya inflasi, penurunan produksi serta
menurunnya daya beli masyarakat.

http://www.opensubscriber.com/message/ppiindia@yahoogroups.com/2560477.html

No comments:

Post a Comment